Hidup Ribet dan Sabar dengan Kamera Analog

Vaiqrafif Alva | Selasa, 07 April 2020

Sebagai fotografer hipster di era milenial ini, belum afdal rasanya kalau belum mencoba motret dengan kamera analog. Walaupun hasil foto segitu-gitu saja, mengunggah foto di Instagram dengan tagar #indo35mm jalan terus. Tidak usah tersinggung, saya pun juga begitu kok. Hehe~.

Entah apa penyebab-Nya hits kembali, padahal banyak perusahaan kamera menghentikan produksi kamera filmnya bertahun-tahun lalu dan menggantikan dengan kamera digital. Begitu juga dengan roll film, semakin sulit dicari semakin mahal. Wajar memang, hukum permintaan dan kelangkaan membuat semua harga kamera analog dan aksesorisnya semakin mahal. Yasudah tidak apa-apa, toh hitung-hitung bagi rezeki juga untuk yang menjual.

Sampai tulisan ini dibuat, tagar #indo35mm sudah digunakan sebanyak 549.000 foto. Cukup banyak untuk ukuran hobi lama. Kalau melihat dari unggahan #indo35mm, warna atau tone yang dihasilkan berbeda dengan kamera zaman sekarang seperti DSLR dan mirrorlessTone yang dihasilkan dari kamera analog ini lebih terkesan jadul. Mungkin ini adalah salah satu daya tarik dari kamera analog dan yang membedakan tone dari kamera analog adalah filmnya. Beda filmnya beda juga tonenya, merk filmnya pun beragam seperti Fuji, Kodak, Ilford, Agfa, dan yang lainnya.

Menggunakan kamera analog tidak semudah yang dipikirkan juga ternyata, ya minimal ngulik dan cari info bagaimana menggunakannya. Karena dari tombol dan pengaturan banyak yang berbeda dari kamera terkini. Pengambilan fotonya pun tidak bisa asal-asalan kalau tidak ingin putih semua atau hitam semua karena kesalahan setting exposure. Berbeda dengan kamera terkini, ada beberapa kamera yang tidak mempunyai mode auto. Untuk mengukur exposurenya bisa dilihat dari lightmeter yang hanya terlihat kalau kamera “dikeker”, itupun kalau menyala dan akurat. Terus kalau tidak menyala dan tidak akurat bagaimana dong? Setidaknya ada dua pilihan alternatif untuk mengukur cahaya yang masuk agar hasilnya tidak putih atau hitam semua, yang pertama yaitu dengan menggunakan lightmeter eksternal dan yang kedua dengan menggunakan “sunny 16 rule”.

Setelah motret, film yang sudah dipakai harus dicuci untuk mengeluarkan hasil foto. Untuk pencucian film ini, biasanya dikirim ke tempat jasa cuci cetak film atau kalau mau cuci sendiri juga pun bisa tetapi bahan yang dibutuhkan mulai susah untuk diperoleh. Lebih banyak orang memilih untuk mengirimkan roll filmnya untuk dicuci dan discan lalu kemudian filenya akan dikirim melalui email dan klisenya dikirim ke tempat masing-masing. Ada beberapa tempat yang masih menyediakan jasa cuci film seperti Hipercat Lab, Labrana, Hungry For Film, dll. Untuk wilayah Jogja sendiri bisa dilakukan di Duta Foto, Soup N Film, Bersoreria, dan tempat-tempat lain. Seperti itulah kira-kira proses untuk bisa menghasilkan foto dari kamera analog. Cukup panjang, ribet, dan mahal. Heuheu. Jangan lupa, setelah file diterima lalu mengunggahnya di Instagram dengan tagar #indo35mm supaya makin hipster. Heuheu.

Berikut adalah beberapa foto jepretan saya menggunakan kamera analog :

cr to Vaiqrafif Alva
cr to Vaiqrafif Alva
cr to Vaiqrafif Alva
cr to Vaiqrafif Alva
cr to Vaiqrafif Alva
cr to Vaiqrafif Alva
cr to Vaiqrafif Alva
cr to Vaiqrafif Alva
cr to Vaiqrafif Alva
cr to Vaiqrafif Alva

 

 

© Instagram : Vaiqqq